Winnie The Pooh

Sabtu, 25 November 2017

DEPENDENT PERSONALITY DISORDER

Depedent personality (ketergantungan berlebihan terhadap orang lain), adalah suatu kesalahan dimana dalam berhubungan dengan orang lain, individu merasa kesejahteraan orang lain lebih penting dibanding kesejahteraan dirinya sendiri. Pada dasarnya, mereka menjalani kehidupan mereka dari orang lain dan untuk orang lain, kepada siapa mereka menawarkan kehangatan, kelembutan, dan pertimbangan. Ketika orang yang mereka sayangi bahagia, orang dengan kepribadian dependen akan merasa bahagia. Tidak mengherankan, mereka cenderung berperan lebih pasif dalam hubungan mereka, menunda untuk berpendapat dan mengungkapkan keinginan dari orang yang mereka cintai, mereka cenderung mendahulukan kesenangan dan kepuasan orang lain terlebih dahulu baru bisa menikmati kesenangan diri sendiri.
Di depan orang ini akan terlihat baik, hangat, dan penuh kasih sayang, akan tetapi di belakang semua itu hanyalah untuk menjaga hubungan mereka supaya tetap terjaga yang dilatarbelakangi oleh rasa tidak berdaya dan takut melakukan apa-apa sendiri yang dialami oleh orang dengan kepribadian dependen. Apabila mereka kehilangan sosok itu maka orang dengan kepribadian dependen akan mencari sosok yang mampu dan kompeten untuk menjadi pengantinya sebagai sosok yang dapat menyelesaikan masalah untuk dirirnya. Dengan meletakkan hidup kepada orang lain, mereka takut hubungannya akan terputus, sehingga mereka akan berusaha selalu memenuhi keinginan pasangannya.

Kriteria Atau Ciri-Ciri Orang Dengan Gangguan Kepribadian Dependen
Menurut DSM-IV TR, kriteria atau ciri-ciri orang dengan gangguan kepribadian dependen adalah sbb :
1.     Memiliki kesulitan membuat keputusan sehari-hari tanpa diikuti saran dan jaminan dari orang lain.
2.    perlu orang lain untuk bertanggung jawab atas sebagian besar wilayah utama dalam hidupnya.
3.    memiliki kesulitan mengekspresikan ketidaksetujuan dengan orang lain karena takut kehilangan dukungan atau persetujuan. Catatan: Tidak termasuk ketakutan yang realistis.
4.    memiliki kesulitan memulai proyek atau melakukan hal-hal sendiri (karena kurangnya kepercayaan diri dalam penilaian atau kemampuan selain itu kurangnya motivasi atau energi).
5.    bersusah payah untuk memperoleh dukungan dari orang lain, menjadi relawan untuk melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan.
6.    merasa tidak nyaman atau tidak berdaya ketika sendirian karena ketakutan berlebihan tidak mampu untuk merawat dirinya sendiri.
7.    mendesak mencari hubungan lain sebagai sumber kekuatan dan dukungan ketika hubungan akan segera berakhir.
8.    tidak realistis sibuk dengan kekhawatiran jika ditinggalkan untuk mengurus dirinya sendiri.

Pandangan Teori Psikologi Terhadap Gangguan Kepribadian Dependen
PSIKODINAMIK
Menurut teori psikoanalitik, gangguan ini timbul karena adanya regresi atau fiksasi pada fase oral perkembangan psikoseksual. Hal itu karena orang tua yang sangat melindungi (over protecting) atau orang tua yang mengikuti apa yang dibutuhkan penderita di masa kecil, atau menuntut perilaku dependen dari penderita sebagai imbalan dari pengasuhan. Dengan selalu terpenuhinya kemauan pada waktu kecil, maka orang ini menjadi kebiasaan bahwa dia harus selalu dipenuhi kemauannya. Akan tetapi orang ini menjadi tidak mandiri, oleh karena itu orang ini akan mencari orang lain untuk menjadi tempat bergantung.
PERSPEKTIF  INTERPERSONAL
Orang tua memainkan peran yang dominan dalam menciptakan patologi dependen, tapi keluarga lainnya dan pengalaman kelompok sebaya sering berkontribusi juga. Jika satu anak jauh lebih dominan atau agresif, yang lain mungkin terpaksa mengadopsi postur tunduk dan lari ke orang tua untuk perlindungan. Atau, anak bermusuhan atau sulit dapat menginspirasi saudara lain untuk menjadi "malaikat kecil" yang selalu mencari saran Mommy dan selalu melakukan apa yang dia katakan, penghargaan perhatian dan pujian nya dengan kehangatan dan kasih sayang. Perasaan ketergantungan dapat diperkuat ketika anak-anak dengan ciri-ciri bergantung mulai sekolah dan harus memisahkan untuk pertama kalinya dari orang tua yang sudah jauh seumur hidup mereka pelindung. Perasaan tidak menarik dan tidak mampu bersaing, terutama selama remaja, dapat mengakibatkan penghinaan sosial dan keraguan diri, menyebabkan anak-anak untuk kembali pada figur attachment sebelumnya sebagai kompensasi.
THE COGNITIVE PERSPECTIVE
Dalam Beck (1990), Fleming menyatakan sejumlah distorsi kognitif yang membuat gangguan tetap bertahan. Ada dua yang sepertinya penting: Pertama, individu dependen melihat dirinya sebagai “secara alamiah tidak mampu dan tidak berdaya”; kedua, kekurangan-kekurangan yang mereka rasa ada pada dirinya (self-perceived shortcomings) mengarahkan mereka untuk menyimpulkan bahwa mereka harus mencari seseorang yang bisa mengatasi kesulitan hidup dalam dunia yang berbahaya.
Hal tersebut sebenarnya hanya merupakan pengulangan dari apa yang telah mereka pelajari. Namun antara premis dan kesimpulan terdapat beberapa kesalahan logis yang menyimpangkan kenyataan (Fleming, 1990) dan kemudian membatalkan semua argumen. Yang paling penting dari hal tersebut adalah pemikiran dikotomus, suatu gaya pemikiran yang membagi dunia menjadi kutub yang saling bertolak belakang, tanpa terdapat daerah abu-abu di antara keduanya. Jika individu dependen tidak diperhatikan, mereka melihat diri mereka sendiri sebagai seseorang yang benar-benar sendirian di dunia ini. Dengan cara yang sama, jika mereka sama sekali tidak yakin bagaimana melakukan sesuatu, tentunya masalah tersebut pasti tidak dapat teratasi, paling tidak bagi mereka. Pemikiran dikotomus tidak dapat dihindari mengarah pada distorsi ketiga: individu dependen cenderung untuk menganggap sesuatu sebagai malapetaka.
 


Daftar pustaka :
https://www.kompasiana.com/aditiasugia/apa-itu-dependent-personality-disorder_56a466f62cb0bd6307b4834d
Millon, Theodore dkk. 2004, Personality Disorders In Modern Life Second Edition. John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New Jersey.
Wiramihardja, S.A. 2005, Pengantar Psikologi Abnormal. P.T Refika Aditama, Bandung.

AVOIDANT PERSONALITY DISORDER

Individu dengan gangguan kepribadian menghindar (avoidant) menunjukkan hambatan sosial yang ekstrim dan introversi, yang mengarah pada pola hubungan sosial yang terbatas seumur hidup dan keengganan untuk masuk ke dalam interaksi sosial. Karena mereka juga hipersensitivitas dan mereka takut terhadap kritik dan penolakan. Mereka tidak mencari orang lain, namun mereka menginginkan kasih sayang dan sering merasa kesepian dan juga merasa bosan. Tidak seperti kepribadian skizoid, orang dengan gangguan kepribadian avoidant tidak menikmati kesendirian mereka, ketidakmampuan mereka untuk berhubungan nyaman kepada orang lain menyebabkan kecemasan yang akut, disertai dengan perasaan rendah diri dan kesadaran diri yang berlebihan yang pada akhirnya terkait dengan depresi (Grant,Hasin, et al, 2005.). Merasa tidak layak serta sosial yang buruk adalah dua hal yang paling lazim dan meneetap pada penderita gangguan kepribadian menghindar (avoidant) (McGlashan et l a, 2005). Selain itu, peneliti baru-baru ini mendokumentasikan bahwa individu dengan gangguan ini juga menunjukkan sikap takut-takut yang lebih umum dan menghindari banyak situasi dan emosi (termasuk emosi positif). Taylor, LaPosa, & Alden, 2004).
Contoh kasus Sally, seorang pustakawan 35 tahun, relatif hidup terisolasi dan tidak punya sahabat. Sejak kecil, ia sangat pemalu dan telah menarik diri dari hubungan dekat dengan orang lain untuk menjaga dari perasaan terluka atau dikritik. Dua tahun sebelum dia masuk terapi, ia punya waktu tertentu untuk pergi ke pesta dengan kenalan yang ia temui diperpustakaan. saatmereka tiba di pesta, Sally merasa sangat tidak nyaman karena dia tidak pernah memakai pakaian pesta. Dia terburu-buru pergi dan menolak untuk melihatnya kenalan lagi. Pada sesi pengobatan awal, dia duduk diam cukup lama, ia terlalu sulit untuk berbicara tentang dirinya sendiri. Setelah beberapa sesi, dia tumbuh untuk mempercayai terapisnya. Dia terkait insiden ditahun awal dimana ia telah "hancur" oleh perilaku alkoholis ayahnya yang menjengkelkan di depan umum. Meskipun ia telah mencoba untuk menjaga tentang masalah keluarganya dari teman-teman sekolahnya, namun sudah tidak mungkin maka dia membatasi persahabatannya, untuk melindungi diri dari kemungkinan malu atau kritikan. 
Ketika Sally pertama kali memulai terapi, ia menghindari diri untuk bertemu orang yang bisa dipastikan bahwa mereka "seperti dia." Dengan terapi yang berfokus pada keterampilan sosial, peningkatan mulai tampak, ia membuat beberapa kemajuan pada kemampuannya untuk mendekati orang dan berbicara dengan mereka.
Sebuah pola meresap inhibisi sosial, perasaan tidak mampu, dan hipersensitivitas terhadap kritik negatif, seperti ditunjukkan sekurang-kurangnya empat dari berikut:
1.     Menghindari kegiatan kerja yang melibatkan kontak antarpribadi yangsignifikan.
2.    Keengganan untuk terlibat dengan orang-orang tertentu kecuali menjadi suka.
3.    Pengendalian dalam hubungan intim karena takut menjadi malu atau diejek.
4.    Keasyikan dengan menjadi pengkritik atau ditolak.
5.    Dihambat dalam situasi antarpribadi yang baru karena perasaan tidak mampu.
6.    melihat diri secara sosial tidak layak atau lebih rendah daripada orang lain diri.
7.    Keengganan yang berlebihan untuk mengambil risiko atau terlibat dalam kegiatan baru karena takut malu.

Gejalanya banyak penderita gangguan ini hanya berhubungan dengan orang yang diyakini tidak akan menolak hubungannya. Untuk menghindari penolakan, penderita biasanay lebih menutup diri dari orang lain.
Perawatan untuk penderita gangguan kepribadian avoidan adalah obat antidepresan sering dapat mengurangi kepekaan terhadap penolakan. Untuk terapi, psikoterapi khususnya pendekatan perilaku-kognitif, dapat membantu penderita mengatasi gangguannya. Alternatif perawatan lain yang lebih efektif adalah dengan kombinasi obat-obatan dan terapi.

FAKTOR PENYEBAB 
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kepribadian avoidant mungkin memiliki asal-usul/bawaan pada bayi yaitu "terhambat" temperamen dan rasa malu yang menghambat dalam situasi baru dan ambigu. Selain itu, sekarang ada bukti bahwa rasa takut negatif dievaluasi adalah yang menonjol dalam gangguan kepribadian avoidant. (Stein, Jang, & Livesley, 2002); ketertutupan dan neurotisisme keduanya tinggi. secara genetik dan biologis ini menghambat temperamen yang mengarah ke gangguan kepribadian avoidant pada beberapa anak yang mengalami emosional pelecehan, penolakan, atau penghinaan dari orang tua yang tidak terutama kasih sayang (Alden dkk, 2002;. Bernstein & Travaglini, 1999; Kagan, 1997). Seperti pelecehan dan penolakan akan sangat mungkin menyebabkan cemas dan takut pada pola dalam temperamental menghambat anak. (Bartolomeus dkk, 2001.).
Orang dengan gangguan kepribadian avoidant begitu takut pada penolakan dan kritik. Mereka umumnya tidak mau untuk memasuki hubungan tanpa jaminan penerimaan. Akibatnya, mereka mungkin memiliki hubungan dengan keluarga mereka saja. Mereka juga cenderung menghindari kelompok pekerjaan atau kegiatan rekreasi karena takut ditolak. Mereka lebih suka makan siang sendirian di meja mereka. Mereka menghindari piknik perusahaan dan pihak lain, kecuali mereka yakin diterima. Gangguan kepribadian avoidant, tampaknya sama-sama sering terjadi pada pria dan wanita. Orang dengan kepribadian avoidant sering menjaga untuk diri mereka sendiri karena takut ditolak. Diyakini mempengaruhi antara 0,5% dan 1,0% dari populasi umum (APA, 1994).
Tidak seperti orang-orang dengan skizofrenia, gangguan kepribadian avoidant memiliki minat, dan perasaan kehangatan terhadap orang lain. Namun, takut ditolak sehingga mencegah mereka dari berjuang untuk memenuhi kebutuhan mereka yaitu kasih sayang dan penerimaan. Dalam situasi sosial, mereka cenderung untuk memeluk dinding dan menghindari berbicara dengan orang lain. Mereka takut masyarakat membuatnya malu, pikiran bahwa orang lain mungkin melihatnya menangis, atau bertindak gugup. Mereka cenderung menempel pada rutinitas mereka dan membesar-besarkan risiko atau usaha dalam mencoba hal-hal baru. Mereka mungkin menolak untuk menghadiri pesta yang merupakan jam perjalanan dengan dalih perjalanan pulang terlambat akan terlalu berat. Prevalensi dari gangguan ini sekitar 5 persen dan sering muncul bersamaan dengan gangguan kepribadian dependen dan borderline.
Perspektif Psikososial Mengenai Avoidant Personality Disorder
1.  Perspektif belajar
Teori belajar cenderung lebih fokus pada perilaku dari pada gagasan tentang ciri kepribadian. Demikian pula, mereka berpikir lebih dalam hal perilaku maladaptif daripada gangguan "kepribadian." Ciri-ciri kepribadian yang berteori untuk mengarahkan perilaku-perilaku yang konsisten untuk memberikan dalam beragam situasi. Banyak kritikus (misalnya, Mischel, 1979), berpendapat perilaku yang sebenarnya tidak konsisten di seluruh situasi seperti teori sifat. Perilaku mungkin lebih bergantung pada tuntutan situasional dari bergantung pada sifat. Sebagai contoh, kita dapat menggambarkan seseorang sebagai pemalas dan tidak termotivasi. Tapi apakah orang ini selalu malas dan tidak termotivasi? Bukankah ada beberapa situasi di mana orang tersebut mungkin energik dan ambisius? Apa perbedaan dalam situasi dapat menjelaskan perbedaan dalam perilaku? Teori belajar umumnya tertarik dalam mendefinisikan belajar dan keadaan yang menimbulkan perilaku maladaptif sebagai penguatan mereka. Teori belajar menekankan bahwa banyak pengalaman penting masa kecil terjadi yang berkontribusi terhadap pembangunan kebiasaan maladaptif yang berhubungan dengan orang lain, yang merupakan gangguan kepribadian.
2.  Psikodinamik
Mereka memiliki perasaan rendah diri (inferiority complex), tidak percaya diri, takut untuk berbicara di depan publik atau meminta sesuatu dari orang lain. Mereka seringkali mensalahartikan komentar dari orang lain sebagai menghina atau mempermalukan dirinya. Oleh karena itu, individu dengan gangguan kepribadian menghindar biasanya tidak memiliki teman dekat. Secara umum dapat dikatakan bahwa sifat yang dominan pada individu ini adalah malu-malu. Prevalensi gangguan kepribadian menghindar adalah 1-10 % dari populasi pada umumnya.gangguan kepribadian ini dapat dikatakan sebagai gangguan yang umumnya dimiliki oleh individu. Bayi-bayi yang diklasifikasikan sebagai memiliki tempramen yang pemalu memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk memiliki gangguan ini daripada bayi-bayi yang aktif bergerak (berdasarkan activity-approach scales).
3.  Behavioral
Teori kognitif sosial Albert Bandura (1973, 1986) telah mempelajari peran belajar observasional di perilaku agresif, yang merupakan salah satu komponen umum perilaku antisosial. Dia dan rekan-rekannya (misalnya, Bandura, Ross, & Ross, 1963) telah menunjukkan bahwa anak-anak memperoleh keterampilan, termasuk keterampilan agresif, dengan mengamati perilaku orang lain. Eksposur terhadap agresi mungkin datang dari menonton program televisi kekerasan atau orang tua yang bertindak kekerasan kemudian anak mengamati terhadap satu sama lain. Bandura tidak percaya anak-anak dan orang dewasa menampilkan perilaku agresif dalam cara mekanis. Mereka mudah sekali keliru dalam mengartikan komentar orang lain, seringkali komentar dari orang lain dianggap sebagai suatu penghinaan atau ejekan. Pada umumnya sifat dari orang dengan gangguan kepribadian menghindar adalah seorang yang pemalu. Menurut teori kognitif-behavioral, pasien sangat sensitif terhadap penolakan karena adanya pengalaman masa kanak-kanak, misalnya : karena mendapat kritik yang pedas dari orang tua, yang membuat mereka mencap diri mereka tidak mampu (inadequate).
4.  Cognitive
Psikolog kognitif telah menunjukkan bahwa cara-cara di mana orang dengan gangguan kepribadian menafsirkan pengalaman sosial mempengaruhi perilaku mereka. Antisosial remaja, misalnya, cenderung keliru menafsirkan perilaku orang lain sebagai ancaman (KA Dodge, 1985). Mungkin karena pengalaman keluarga dan masyarakat, mereka cenderung menganggap bahwa orang lain ingin mereka sakit ketika mereka tidak. Pada kepribadian avoidant, kandungan kognisi menjalin hubungan timbal balik patologis dengan struktur kognisi (misalnya perangkat penyusunan informasi), dimana hubungan ini yang bertanggungjawab atas terjadinya gangguan. Sifat terlalu curiga adalah pusat dari seluruh gangguan. Avoidant secara konstan memeriksa lingkungan mencari potensi ancaman. Mereka sensitif terhadap segala perasaan dan niatan orang lain terhadap mereka. Yang dihasilkan adalah sistem pemrosesan informasi yang dikuasai oleh terlalu banyak stimulus yang menghambat mereka memahami sesuatu yang biasa atau keadaan sekitar. Akibatnya, penilaian terhadap potensi bahaya menjadi sangat tinggi, bahkan kejadian yang sebenarnya tidak mengandung bahaya-pun ditandai sebagai ancaman. Karena terlalu banyak potensi ancaman yang masuk maka tidak ada satu informasi-pun yang diolah secara mendalam. 
Hipotesis yang menyatakan bahwa setiap sumber stimulasi itu berbahaya berlanjut sebagai akibat dari ketidakpastian, membiarkan sebuah ancaman tanpa diperiksa akan sangat berisiko. Hasilnya, kecemasan meningkat, kepekaan terhadap tanda-tanda bahaya juga meningkat dan kedalaman pemrosesan informasi makin menderita. Akibatnya, seluruh proses kognitif menjadi sangat terbebani karena menganggap segala sesuatu sebagai ancaman. Oleh sebab itu seorang avoidant harus menarik diri demi mendapatkan rasa aman.
5.  Humanistic
Pandangan diri: melihat diri sebagai individu yang tidak mampu dan tidak kompeten dalam bidang akademis dan situasi bekerja. Pandangan tentang orang lain: melihat orang lain yang mengkritik, tidak tertarik, dan penuntut. Kepercayaan: intinya adalah “saya tidak baik...tidak berharga...tidak dicintai. Saya tidak bisa menerima perasaan yang tidak menyenangkan.” Tingkatan kepercayaan yang lebih tinggi adalah “jika orang mendekati saya, mereka akan menemukan “keaslian diri saya” dan akan menolak saya-hal ini tidak bisa diterima.” Tingkat selanjutnya, adalah kepercayaan mengenai instruksi diri (self-instructional) seperti: “lebih baik tidak mengambil resiko,” “sebaiknya saya menghindari situasi yang tidak menyenangkan”, “jika saya merasa atau berpikir sesuatu yang tidak menyenangkan, saya seharusnya mencoba keluar dengan mengacaukan diri.” 
6.  Interpersonal
Perasaan utamanya adalah kombinasi kecemasan dengan sedih, dihubungkan dengan kurangnya perolehan kesenangan yang relasi terdekat dan keyakinan diri dalam penyelesaian tugas. Penerimaan yang rendah terhadap disphoria menghambat mereka dalam mengatasi perasaan malu dan membantu mereka untuk lebih efektif. Karena mereka menghayati dan mengawasi perasaan terus menerus, mereka sensitif untuk perasaan sedih dan cemas. Ironisnya, disamping kewaspadaan yang sangat terhadap perasaan tidak nyaman, mereka malu untuk mengidentifikasi pikiran yang tidak menyenangkan itu-kecenderungan yang sesuatu dengan strategi utama yang disebut “cognitive avoidance”. Walaupun mendapatkan masalah, mereka tetap tidak mau terlibat hubungan dengan resiko kegagalan atau penolakan.

Sumber :
https://psikologiabnormal.wikispaces.com/Avoidant+Personality+Disorder
Psikologi Abnormal, Gerald C Davidson, John M Neale, AN M Kring Edisi ke 9
Abnormal Psychology core concepts, James N butcher, Susan Mineka, Jill m Hooley, 2008 Pearson Education USA

Abnormal Psychology, Jeffrey s. Nevid spencer a. Rathus Beverly greene fourth edition Prentice Halll , New Jersey 2000.

Gangguan Kepribadian Histrionik

Tanpa disadari di era modern ini banyak individu, biasanya wanita yang menunjukkan gejala yang diantaranya memiliki kebutuhan akan perhatian yang besar. Mereka cenderung akan melakukan apapun untuk menjadi pusat perhatian dan akan merasa sedih, marah dan kesal bila tidak mendapatkannya. Contohnya, mereka dapat menunjukkan rasa senang atau bahagia yang berlebihan saat bertemu dengan seseorang dan menjadi sangat marah saat seseorang tidak menyadari gaya rambut atau sepatu mereka yang baru. Gejala tersebut merupakan salah satu ciri dari munculnya histrionic personality disorder (HPD). Perbedaan individu normal dan individu dengan gangguan ini ialah dalam menunjukkan perasaannya, mereka cenderung memperlihatkan emosi yang berlebihan yang lebih bertujuan untuk memanipulasi orang lain daripada mengungkapkan perasaan yang sebenarnya.
Menurut American Psychiatric Association (APA) Histrionic Personality Disorder didefinisikan sebagai gangguan kepribadian yang ditandai dengan pola emosi yang berlebihan dalam mencari perhatian, termasuk perilaku seduktif yang tidak tepat dan kebutuhan yang berlebihan untuk penerimaan. Sedangkan menurut DSM IV-R, Histrionik itu dianggap sebagai sebuah pola emosi yang berlebihan dan kebiasaan mencari perhatian, termasuk kebutuhan akan persetujuan/pembenaran. Gangguan ini biasanya mulai terdiagnosa ketika gejala-gejala ini menjadi bersifat menetap dan sangat menyulitkan.
Dalam berinteraksi dengan orang lain, mereka cenderung berperilaku menggoda secara seksual yang tidak pada tempatnya. Secara konsisten mereka menggunakan tampilan fisik untuk menarik perhatian dari orang lain. Mereka cenderung impulsif, self-centered dan merasa tidak nyaman bila tidak menjadi pusat perhatian.
Dalam berbicara, mereka hanya dapat berkomentar secara global tanpa dapat menggambarkan dengan jelas seperti apa maksud mereka. Terkadang mereka terlalu mengutamakan firasatnya. Mungkin di lingkungan sekitar kita ada orang yang sangat mudah mempercayai orang lain dan mudah diyakini tanpa melihat kenyataan. Anggapan dasarnya ialah mereka yakin bahwa orang tersebut memang bisa membantu memecahkan masalah mereka ataupun orang yang mereka rasa memiliki kedekatan lebih.
Dalam menjalin hubungan, mereka mudah dalam menunjukkan rasa sayang. Mereka sering menggambarkan seolah-olah memiliki hubungan yang spesial, namun pada kenyataannya tidak. Mereka mungkin memiliki kesulitan untuk mencapai keintiman emosional. Tanpa disadari, mereka sering bertindak diluar perannya. Misalnya mereka akan merasa menjadi korban saat orang lain mengecewakan  mereka atau saat hubungannya gagal. Dengan demikian, mereka tidak mampu untuk mempertahankan hubungan yang mendalam dan berlangsung lama dengan orang lain.
Biasanya gangguan ini dimulai pada masa dewasa awal yang mungkin muncul di berbagai macam konteks sosial dan memang lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria.

KRITERIA/CIRI-CIRI
Orang dengan histrionic mempunyai beberapa ciri-ciri atau kriteria umum berdasarkan kriteria DSM IV-TR terdapat delapan ciri-ciri, yaitu:
·         Tidak merasa nyaman ketika ia tidak menjadi pusat perhatian dan akan berusaha mencari perhatian dari orang lain (self-centeredness).
·         Bertingkah laku tertentu untuk menjai pusat perhatian dengan perilaku yang bisa membangkitkan hasrat sekusal orang lain yang melihatnya.
·         Ia bisa menampilkan ekspresi pura-pura dan bisa mengubah ekspresi emosi dengan cepat untuk memberi perhatian pada orang lain
·         Selalu memakai segala sesuatu (pakaian/dandanan) yang  mencolok untuk mendapatkan perhatian dari orang lain
·         Berbicara spontan dengan gaya bahasa tertentu untuk memberikan kesan kepada orang lain
·         Suka mendramatisir suatu keadaan secara berlebihan bahkan berbohong hanya untuk meyakinkan orang lain dan menampilkan ekspresi emosi yang berlebihan.
·         Pendapat-pendapatnya mudah dipengaruhi oleh orang lain tetapi sulit untuk menjelaskan secara detail tentang pendapat itu dan ia sensitif terhadap kritikan dan penolakan
·         Menganggap bahwa suatu hubungan menjadi lebih intim dari yang sebenarnya
 
PENYEBAB
Penyebab gangguan histrionic sebenarnya masih belum jelas namun kebanyakan ahli psikiatri menganggap bahwa gangguan ini disebabkan oleh faktor genetis dan pengalaman saat masa kanan-kanak.
Dari perpektif psikososiokultural, Belum jelas penyebab gangguan kepribadian histrionik secara sosio kultural. Namun seperti semua gangguan kepribadian lainnya, gangguan kepribadian histrionik adalah pola perilaku tertanam dan abadi sebagai respon yang fleksibel untuk berbagai situasi pribadi dan sosial. Perilaku ini merupakan penyimpangan ekstrim dan signifikan dari rata-rata cara individu dalam suatu budaya tertentu berhubungan dengan orang lain. Mereka cenderung suka menarik perhatian dengan cara yang berlebihan, memanipulasi orang lain, dan juga mempunyai emosi yang tidak stabil serta impulsif. Gangguan ini mungkin muncul pada budaya yang bebas dalam menampilkan ekspresi emosinya. Orang dengan gangguan histrionic yang kurang mendapatkan kritik atau hukuman saat masa kanak-kanak dan perhatian atau peola asuh yang tidak tentu dan berubah-ubah dari orang tua bisa membuat kebingungan pada anak mengenai perilaku apa yang boleh dan baik untuk dilakukan.
Dalam perspektif humanistik, penderita gangguan ini memiliki self-esteem rendah dan berjuang untuk memberi kesan pada orang lain untuk meningkatkan self-worth mereka. Sedangkan menurut perspektif interpersonal, mereka akan melakukan apa saja untuk bisa mendapatkan perhatian walaupun tidak dapat menjalin relasi yang mendalam dengan lingkungan.
Menurut Gender-Related Diagnostic Issues, gangguan ini telah didiagnosis lebih sering  terjadi pada wanita dengan rasio perbandingan yang tidak berbeda secara signifikan. Meskipun sangat kontroversial, namun sebagian besar ciri-ciri yang terjadi lebih sering muncul pada wanita. Ciri tersebut diantaranya memusatkan pada penampilan fisik, dramatisasi, menunjukkan emosi secara berlebih, yang secara otomatis meningkatkan kemungkinan bahwa perempuan akan lebih banyak memiliki kecenderungan gangguan ini. Gangguan kepribadian histrionic pada pria mempunyai gejala yang sama lebih cenderung didiagnosa sebagai gangguan kepribadian antisosial. Kemungkinan hal ini terjadi karena pada pria histrionic cenderung untuk menarik diri dari lingkungan sosial dibandingkan wanita histrionic.
Dari perpektif biologis, hal ini disebabkan oleh faktor genetis dimana jika orang tua menunjukkan gejala tersebut, maka anaknya memiliki resiko mewarisinya. Ciri-ciri karakter lainnya disebabkan oleh kombinasi fenotip dari genetika dan lingkungan.

Sumber :
https://www.kompasiana.com/nurwahidahulfah/mengenal-lebih-dekat-gangguan-kepribadian-histrionik_56a4650080afbdba04e4a9d1
Millon, Theodore. (2000) Personality Disorders in Modern Life. US: Johnwiley & Sons, Inc.
 
Copyright © 2010 Welcome To My Blog ♥ | Design : Noyod.Com